- Novel-Eng
- Romance
- CEO & Rich
- Billionaire
- Marriage & Family
- Love
- Sweet Love
- Revenge
- Werewolf
- Family
- Marriage
- Drama
- Alpha
- Action
- Adult
- Adventure
- Comedy
- Drama
- Ecchi
- Fantasy
- Gender Bender
- Harem
- Historical
- Horror
- Josei
- Game
- Martial Arts
- Mature
- Mecha
- Mystery
- Psychological
- Romance
- School Life
- Sci-fi
- Seinen
- Shoujo
- Shounen Ai
- Shounen
- Slice of Life
- Smut
- Sports
- Supernatural
- Tragedy
- Wuxia
- Xianxia
- Xuanhuan
- Yaoi
- Military
- Two-dimensional
- Urban Life
- Yuri
Bab 341
Alex menutup telepon dan melaporkan dengan jujur, “Pak Harvey, Poison Bug itu ternyata mengetahui
keberadaan Nyonya di pulau. Tuan Calvin masih mengira kita yang memberi informasi. Nyonya
sekarang ada di tangannya. Haruskah kita pergi menjemput Nyonya?”
“Tidak perlu. Hasil tes sumsum tulang membutuhkan waktu. Aku akan pergi memastikan satu hal
terlebih dulu.”
Alex tidak tahu apa yang ingin Harvey pastikan. Bahkan Selena yang dia prioritaskan pun dia abaikan
untuk sementara
Harvey sekarang dalam kondisi yang sangat tidak baik. Telesan keringat halus terlihat samar di
dahinya, dan tangannya yang memegang kemudi sedikit gemetar.
Siapa sebenarnya wanita itu? Bisa–bisanya membuat Harvey bereaksi sedahsyat itu.
Mungkinkah dia mantan kekasih Harvey yang pernah punya masalah dengannya?
Singkatnya, Harvey malam ini sangat tidak normal. Mobilnya melaju kencang, Alex sampai harus
mencengkram erat pegangan tangan agar tidak terlempar keluar.
Mobil itu melaju cepat kembali ke pusat kota. Dalam sekejap, bayangan tempat–tempat yang mungkin
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtdituju Harvey melintas di benak Alex.
Siapa yang sangka dia sudah mengendarai mobi sampai di pemakaman.
Malam–malam begini, Harvey mau pergi berziarah ke makam Nyonya Tua?
Di luar, badai mengamuk dengan kencang. Angin dan hujan bertiup dengan dahsyat, petir menyambar
di langit. Mobil melaju kencang, dan di bawah kilatan petir, Alex melihat deretan batu nisan yang
berjejer rapat di gunung.
Bahkan dia yang bangkit dari tumpukan orang mati pun merasa ngeri melihat pemandangan seperti itu.
Mobil terus melaju hingga berhenti di depan gang kecil. Alex panik dan turun dengan membawa
payung. ingin melindungi Harvey dari hujan.
Harvey, jangankan untuk membuka payung, dia bahkan seperti kehilangan jiwanya, terhuyung–huyung
mendaki gunung.
Tanah menjadi lunak dan lembek setelah dibasahi hujan deras. Sekali kaki menginjaknya, terbentuklah
lubang lumpur besar yang licin dan kotor.
Harvey berjalan dengan cepat, sehingga sepatu bot tebaknya yang tebal menginjak genangan air dan
memercikkan air.
Hanya beberapa lampu redup di atas gunung, menyinari batu nisan, membuatnya tampak lebih
menyeramkan dan mengerikan.
Angin kencang menerjang ranting–ranting di sekitarnya, menghasilkan suara “swish swish“.
Di sekelilingnya tidak ada seorang pun, hanya terdengar suara langkah kaki dan detak jantung Harvey.
Dia seperti binatang buas yang lepas kendali, berlari kencang ke depan.
Dia berlari dengan satu tarikan napas sampai ke sebuah makam.
Bunga persik di sekeliling sudah lama layu, hanya tersisa ranting–ranting yang menari mengikuti angin.
Cahaya lampu jalan yang dingin dan suram menyinari foto di atas batu nisan. Tubuh Harvey perlahan-
lahan tergelincir ke bawah.
Jari–jari lentik membelai wajah gadis kecil di foto.
Alex yang mengikuti Harvey makin bingung melihat Harvey berlutut di depan makam. Dia tidak
mengerti
apa yang ingin Harvey konfirmasi dengan pergi ke makam Nona di tengah malam.
“Pak Harvey, ini adalah batu nisan yang baru diperbaiki. Lihat, hujan deras seperti ini pun tidak ada air
yang merembes. Kualitas pengerjaannya memang bagus.”
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏmDia dengan susah payah menemukan sebuah alasan.
Sebelumnya, makam Lanny telah dirusak oleh Selena dan baru saja diperbaiki. Dia tidak perlu datang
pada saat ini untuk memastikan kualitas makam, meskipun dia ingin melakukannya.
Meskipun hujan deras telah membasahi seluruh tubuh Harvey, Alex tetap memegang payung di atas
kepala Harvey.
“Pak Harvey, lihat hujannya deras sekali. Nyonya masih di rumah Tuan Calvin. Bagaimana kalau kita
pulang dulu?”
Dengan kepala tertunduk, Harvey perlahan berkata, “Buka makamnya.”
Alex secara kebiasaan menjawab, “Baiklah.”
Dia terdiam selama dua detik baru menyadari. “Apa yang kamu katakan?
Jantung Alex berdetak kencang, pasti dirinya salah dengar.
Gemuruh menggelegar, kilat membelah langit, cahayanya menorehkan wajah Harvey yang sedingin
es.
Tangan Harvey menggenggam erat tepi makam, dan berkata dengan nada yang ditekankan di tiap
katanya, “Aku memerintahkanmu untuk menggali kuburan dan membuka peti mati.”