- Novel-Eng
- Romance
- CEO & Rich
- Billionaire
- Marriage & Family
- Love
- Sweet Love
- Revenge
- Werewolf
- Family
- Marriage
- Drama
- Alpha
- Action
- Adult
- Adventure
- Comedy
- Drama
- Ecchi
- Fantasy
- Gender Bender
- Harem
- Historical
- Horror
- Josei
- Game
- Martial Arts
- Mature
- Mecha
- Mystery
- Psychological
- Romance
- School Life
- Sci-fi
- Seinen
- Shoujo
- Shounen Ai
- Shounen
- Slice of Life
- Smut
- Sports
- Supernatural
- Tragedy
- Wuxia
- Xianxia
- Xuanhuan
- Yaoi
- Military
- Two-dimensional
- Urban Life
- Yuri
Bab 454 Seiring cuaca yang makin panas, kunang-kunang pun mulai beraktivitas, menghiasi tenangnya malam dengan titik-titik cahaya.
Sesekali angin sejuk bertiup, membuat Selena bersin.
“Achoo!” Saat itulah, Harvey segera menegakkan tubuh sambil memegang botol kaca, lalu dia berjalan ke arah Selena.
Seharusnya, usai dirinya menangkap dalam waktu yang cukup lama, ada sekitar sepuluh kunang- kunang dalam botol kaca itu.
Meskipun tidak semegah di pulau, mereka tampak sangat cantik nan berkilauan di balik kaca.
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇt“Kamu lapar, nggak?” Harvey menyerahkan botol kaca itu dengan santai. Namun, Selena tidak menerimanya, sehingga dia hanya menggantungnya di tenda seraya melepas jaket miliknya dan memakaikannya pada Selena.
“Meski suhu akhir-akhir ini sudah naik, tapi di gunung suhunya masih dingin. Saat makan malam kamu makannya sedikit, pasti lapar, ‘kan? Lihat apa yang sudah kusiapkan untukmu.” Selena mengernyitkan keningnya dan menatapnya dengan dingin. “Kenapa kamu membawaku ke tempat seperti ini?” tanya Selena, enggan berbasa-basi dengan Harvey.
Harvey menggenggam tangannya, lalu membawa dirinya ke meja tempat kue gulung. “Malam ini mungkin ada hujan meteor. Aku ingat, kamu pernah bilang ingin lihat hujan meteor.” Dulu, dia memiliki hati seorang gadis yang mudah tergoda dan rindu akan segala sesuatu yang indah.
Saat itu, menunggu hujan meteor bersama kekasih terciff adalah momen terindah dalam hidupnya bagi Selena.
Sayangnya, Harvey selalu sibuk. Dia membatalkan janjinya setiap kali.
Selena selalu tersenyum padanya dan berkata, “Nggak apa-apa. Kita punya waktu seumur hidup untuk menunggu. Aku nggak sedang buru-buru, kok.” Siapa sangka bahwa hidup ini begitu tidak kekal Apa yang dirinya anggap sebagai seumur hidup ternyata hanya bertahan beberapa tahun saja.
Selena melihat meja yang dipenuhi bahan-bahan segar dan hot pot dengan minyak merah yang mendidih nan penuh gelegak.
Langit malam tampak bagai kanvas berhiaskan bintang dan bulan kecil yang berkilau, menyajikan pemandangan yang luar biasa indah.
Ini adalah kemah yang selalu dia impikan. Makan hot pot dengan nikmat di tengah alam bebas yang gelap gulita sambil melihat bintang-bintang berjatuhan di langit.
Dia tidak pernah melupakannya.
Selena berdiri di bawah lampu neon, tetapi wajah mungilnya yang cantik sama sekali tidak menunjukkan kegembiraan. Dia menatap Harvey dengan sorot mata dingin, suaranya terdengar samar, *Selena berusia 18 tahun ingin menonton hujan meteor dengan kekasihnya. Kamu tahu nggak, apa keinginanku di usia 21 tahun?” Harvey mengerucutkan bibir tipisnya sebelum menjawab, “Aku tahu, kamu ingin balas dendam.” Selena menatap lekat wajah tampan itu. Dulu, hatinya akan terasa berdegap kencang meski hanya melihatnya sekilas. Namun, yang tersisa kini hanyalah rumitnya perasaan di hati.
Penyesalan, kemarahan.
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏmHanya cinta yang tidak ada.
“Nggak. Jika ada hujan meteor sungguhan, aku mau merapal satu permintaan.” Selena maju selangkah. Mengenakan sepatu flat, dia berjinjit sedikit dan berkata di telinga Harvey penuh penekanan, “Aku cuma nggak mau melihatmu lagi, selamanya.” Meskipun dia membencinya, ada rasa yang rumit dan tidak bisa dijelaskan dalam kebenciannya. Dia enggan terlibat lagi dengan pria ini sedikit pun.
Harvey terdiam sejenak. Dia membuka mulutnya, lalu berkata, “Sebegitunya kamu membenciku, ya?” “Ya, aku hanya punya kebencian padamu,” tegas Selena.
Angin bertiup, menerbangkan lampu tenda yang sibuk bergoyang-goyang. Cahaya kuningnya berkelap- kelip.
“Masih ingat dua tahun lalu, seberapa besar kebencianmu padaku? Kini, aku merasakan hal yang sama padamu, Harvey. Perasaan ini nggak pernah pudar, bahkan makin dalam. Pengkhianatan, kebohongan. kebencian, dan penyesalan mewarnai hubungan kita. Cinta? Sudah habis. Sekali saja aku melihat wajahmu, rasa muak langsung menyergap.” Suara Selena terdengar di telinganya, membuat tubuh Harvey bergetar.
Ternyata, dulu dia menyakiti Selena seperti ini.
Satu per satu kata terlontar bagai mata pisau yang tajam. Walau tak ada darah yang tampak, ucapannya mampu menusuk hati hingga nyeri tak terkira.