- Novel-Eng
- Romance
- CEO & Rich
- Billionaire
- Marriage & Family
- Love
- Sweet Love
- Revenge
- Werewolf
- Family
- Marriage
- Drama
- Alpha
- Action
- Adult
- Adventure
- Comedy
- Drama
- Ecchi
- Fantasy
- Gender Bender
- Harem
- Historical
- Horror
- Josei
- Game
- Martial Arts
- Mature
- Mecha
- Mystery
- Psychological
- Romance
- School Life
- Sci-fi
- Seinen
- Shoujo
- Shounen Ai
- Shounen
- Slice of Life
- Smut
- Sports
- Supernatural
- Tragedy
- Wuxia
- Xianxia
- Xuanhuan
- Yaoi
- Military
- Two-dimensional
- Urban Life
- Yuri
Bab 545 Selena enggan menerima kenyataan, tetapi dia tidak punya pilihan lain. Semuanya sudah terjadi. Tidak ada obat untuk rasa sesal Nyawa ini Selena peroleh dari menukarkan darah banyak orang. Di masa depan, dia tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri.
“Kamu nggak perlu khawatir aku akan bertindak bodoh lagi. Kamu pulang dulu, mandilah dan istirahat. Tenang saja, aku nggak akan pernah lari lagi,” pesan Selena, berusaha menenangkan Harvey.
Harvey sangat terkejut dia bisa mengucapkan kata-kata seperti itu. Selena terbangun layaknya orang yang benar-benar berbeda.
Ibarat Selena dulu adalah bunga bakung putih yang tegak, anggun, indah, dan murni. Tanpa kekuatan untuk melukai.
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtSelena sekarang adalah mawar berduri. Cantik, tetapi bisa melukai orang yang mendekatinya.
*Seli aku nggak capek...” Selena di kondisi seperti ini, membuatnya tidak mungkin bisa merasa tenang. Dia ingin menjaga dan memantau keadaannya.
Selena tidak menjelaskan apa pun lagi, hanya melihat ke arah pintu yang tertutup. “Aku dengar ada yang menangis. Siapa?” “Orang tua Lian. Mereka nggak terima. Mengingat Lian meninggal karenamu, aku bisa memaklumi mereka. Tapi, mereka malah memanfaatkan resermpata Bn marah-marah di rumah sakit.” Selena menggelengkan kepala. Dia merasa tidak senang dengan penjelasan Harvey. “Kamu nggak akan pernah mengerti perasaan seorang ibu. Kami bersedia melakukan apa saja untuk anak-anak kami. Ini bukan memanfaatkan kesempatan.” Sambil berbicara, Selena menyingkap selimutnya, tetapi tubuhnya belum sepenuhnya pulih dan gerakannya sangat lemah.
Selena menoleh kepada Harvey seraya berkata, “Bisakah kamu membantuku keluar sebentar?” “Oke.” perempuan yang Suara di luar menjadi lebih keras setelah pintu terbuka. Terdengar suara menyayat hati, seakan-akan menusuk telinganya.
Selena mengangkat kepala dan melihat ke arah kejauhan. Seorang wanita paruh baya dengan penampilan sederhana tampak di sorot matanya. Rambut wanita itu berantakan, matanya menjadi merah, dan wajahnya diliputi kesedihan. Dia mencengkeram kerah Chandra sambil menangis histeris.
Leher Chandra tampak sudah terluka di beberapa tempat dengan bekas cakaran, tetapi dia tidak menghindar.
Dia hanya berkata dengan tenang. “Bibl, tenanglah. Semuanya sudah terlanjur terjadi.” “Tenang? Kamu suruh aku tenang? Putriku masih baik-baik saja saat kuserahkan pada kalian, kenapa sekarang dia mati?” Tak jauh dari sana, ada seorang pria berdiri diam menatap dinding dengan mata menerawang jauh. Wajahnya begitu putus asa dan tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
Sepertinya mereka adalah orang tua Lian.
Selena berdiri ditopang Harvey, angkat bicara dengan suara serak dan berat, “Bibi, Kak Lian mati karenaku.
Kalau kamu mau menyalahkan seseorang, salahkan aku.” Wanita itu memalingkan kepalanya dan melihat Selena. Matanya yang merah pun terpaku sejenak.
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm“K-kamu Nona Selena?” Wanita itu mendengar banyak hal tentang Selena dari Lian. Lian selalu berkata, Selena sangat cantik dan lemah lembut. Dia seorang bos yang baik.
Namun, Selena menanggung banyak luka di masa lalu dan tidak memiliki banyak keluarga, sehingga dia harus merawat Selena dengan baik agar Selena dapat melahirkan dengan selamat.
Harusnya, Selena sudah hamil enam bulan lebih. Matanya tertuju pada perutnya yang datar tanpa tanda- tanda kehamilan.
Wajah cantiknya tertutup kesedihan dan lelah. Bibirnya kering dan pecah-pecah, bahkan pipinya terlihat tirus.
Apakah seperti ini penampilan seorang ibu hamil? Tubuhnya jelas-jelas sangat lemah, seolah-olah dia akan roboh seketika bila tertiup angin.
Sebagai seorang ibu, naluri alami memberi isyarat padanya untuk berhenti berteriak dan menyalahkan.
Sang wanita melihat Selena mendekatinya langkah demi langkah. Dia berjalan dengan susah payah, tetapi tetap teguh.
Dengan langkah yang lambat dan berat sekaligus lutut yang agak ditekuk, tubuhnya tiba-tiba berlutut di depan wanita itu.
“Bibi, akulah yang menyebabkan kematian anakmu. Kalau kamu ingin membunuhku, bunuh aku saja.”