- Novel-Eng
- Romance
- CEO & Rich
- Billionaire
- Marriage & Family
- Love
- Sweet Love
- Revenge
- Werewolf
- Family
- Marriage
- Drama
- Alpha
- Action
- Adult
- Adventure
- Comedy
- Drama
- Ecchi
- Fantasy
- Gender Bender
- Harem
- Historical
- Horror
- Josei
- Game
- Martial Arts
- Mature
- Mecha
- Mystery
- Psychological
- Romance
- School Life
- Sci-fi
- Seinen
- Shoujo
- Shounen Ai
- Shounen
- Slice of Life
- Smut
- Sports
- Supernatural
- Tragedy
- Wuxia
- Xianxia
- Xuanhuan
- Yaoi
- Military
- Two-dimensional
- Urban Life
- Yuri
Bab 85
Kata–kata seperti itu sangat menyakitkan, tetapi Selena tidak punya pilihan lain.
Selena terpaksa menurunkan tangannya yang sebelumnya hendak menghalangi Harvey. Tangan
Harvey sudah mencapai jaket Selena yang di baliknya ada sweater. Di dalam sweter ada rompi bulu,
dan di dalam rompi bulu masih ada pakaian penghangat.
Harvey pun mengerutkan alis dan bertanya dengan bingung, “Apakah kamu seorang wanita tua?
Kenapa kamu berpakaian begitu tebal?”
Selena pun tersipu. Dia menggigit bibirnya dan menjawab, “Aku takut kedinginan.”
Harvey segera menyadari suatu hal. Tubuh Selena sangat kurus, sehingga día tampak tidak gemuk
meski mengenakan pakaian begitu tebal.
Ketika telapak tangan Harvey menyentuh kulit Selena, terasa tulang punggungnya yang menonjol,
seolah–olah hanya ada lapisan kulit tipis di atas tulang itu. Sejak kapan dia menjadi kurus seperti ini?
Niat jahat Harvey tadi seketika menghilang sepenuhnya, bahkan digantikan oleh rasa bersalah yang
tak tampak.
Selena sendiri tidak tahu mengapa kondisi dirinya bisa sampai seperti ini. Dia menatap tajam ke arah
mata hitam pekat pria itu dengan kesal. “Kamu memperlakukanku seperti ini, memangnya tidak takut
Agatha mengetahuinya? Jangan lupa, kita sudah bercerai,” ujar Selena.
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtSuara dingin dan kejam Harvey pun terdengar, “Kamu tidak perlu ikut campur urusanku dengan dia.
Aku setuju dengan usulmu tadi. Mulai sekarang, kamu yang menggantikan ayahmu untuk
menanggung dosa.”
Selena pun segera menanggapi, “Kalau begitu, Leo…”
“Aku akan menemukannya.”
Selena baru bisa menghela napas lega setelah Harvey berjanji. Tatapan pria itu seperti kail yang
terkunci di tubuhnya. “Sedangkan kamu, harus siap siaga kapan pun aku membutuhkanmu,” ujar
Harvey.
Selena tidak percaya Harvey akan mengucapkan kata–kata itu.
Saat Selena sedang berderai air mata, jari dingin Harvey menyapu pipinya. Terdengar suara
Harvey santai dan menghina, “Aku tiba–tiba menyadari satu hal, sepertinya aku masih memiliki
hasrat terhadap tubuhmu/Setiap kali aku menyentuhmu, kamu akan sangat menderita.”
Harvey memandangi Selena dengan tatapan dingin yang menusuk sampai ke hati. “Apakah ada cara
lain yang lebih baik untuk menyiksamu? Katakan padaku,” ujar Harvey.
1/3
+15 BONUS
Selena menahan rasa sakit yang bergejolak di perutnya. Dengan suara yang hampir tidak
terdengar, dia bertanya, “Harvey, kamu begitu semena–mena mempermalukan dan menyiksaku
Apakah kamu tidak akan menyesalinya suatu hari nanti?”
“Aku hanya tahu bahwa aku baru bisa tertawa saat kamu kesakitan.”
Selena tidak pernah menyangka, hubungan mereka berdua ternyata akan berubah menjadi
seperti ini.
Saat Selena meminta Harvey mengantarnya pulang ke apartemen, Harvey pun bertanya, “Kamu
tidak mengundangku ke atas untuk minum kopi?”
Pada saat ini, sudah jelas apa maksud Harvey. Dia ingin menyelesaikan apa yang belum dia
selesaikan di mobil.
Sementara Selena tidak punya alasan untuk menolak.
Olga baru saja pulang dalam beberapa hari ini, sehingga apartemen Selena sekarang sedang
kosong tanpa ada seorang pun.
Saat pintu apartemennya terbuka, Selena bahkan belum sempat terpikir untuk menyalakan lampu,
sepatunya pun belum sempat ditanggalkannya. Dia langsung berlari ke kamar mandi dan
memuntahkan isi perutnya sampai bersih.
Setelah selesai muntah, Selena merasa pikirannya lebih jernih, tetapi perutnya tiba–tiba terasa
semakin sakit karena efek alkohol.
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏmSaking sakitnya, tubuh Selena pun berkeringat dingin, dia sampai meringkuk di lantai seperti
udang.
Rasa sakit itu menyebar dari perut ke seluruh organ dalam, bahkan hingga ke setiap jengkal tubuhnya.
Bernapas pun terasa menyakitkan.
Selena merasa kepalanya sangat sakit dan pusing. “Apakah aku akan segera mati?” pikirnya.
Selena menggigit bibirnya dengan erat, tidak berani mengeluarkan suara sama sekali.
Setelah menunggu di luar selema beberapa waktu, Harvey belum melihatnya keluar. Harvey pun
mengetuk pintu kamar mandi dan bertanya, “Selena, ada apa?”
“Aku … tidak apa–apa.” Dia berbicara dengan susah payah, “Tunggu sebentar, aku bersihkan
kamar mandi dulu, baru keluar.”
Bagaimanapun, Selena baru saja melakukan pemeriksaan kesehatan beberapa hari yang lalu,
sehingga Harvey pun tidak akan berpikir bahwa Selena menderita suatu penyakit kronis.
Dia hanya menganggap Selena merasa malu, sehingga berusaha menjauh dari dirinya.
Harvey sama sekali tidak tahu bahwa saat ini Selena sedang meringkuk kesakitan sambil memegangi
perutnya. Begitu sakitnya, sampai–sampai bernapas saja tidak bisa, bahkan bisa bergerak sedikit saja
sudah merupakan hal yang luar biasa.
Selena sangat menyesal, dia masih saja terlalu gegabah, dua gelas wiski itu hampir saja
merenggut nyawanya.