- Novel-Eng
- Romance
- CEO & Rich
- Billionaire
- Marriage & Family
- Love
- Sweet Love
- Revenge
- Werewolf
- Family
- Marriage
- Drama
- Alpha
- Action
- Adult
- Adventure
- Comedy
- Drama
- Ecchi
- Fantasy
- Gender Bender
- Harem
- Historical
- Horror
- Josei
- Game
- Martial Arts
- Mature
- Mecha
- Mystery
- Psychological
- Romance
- School Life
- Sci-fi
- Seinen
- Shoujo
- Shounen Ai
- Shounen
- Slice of Life
- Smut
- Sports
- Supernatural
- Tragedy
- Wuxia
- Xianxia
- Xuanhuan
- Yaoi
- Military
- Two-dimensional
- Urban Life
- Yuri
Bab 155
Samara baru saja keluar dari ruang autopsi.
Jane yang mengenakan masker masih menutupi hidung dan mulutnya dengan tangan,
dan terlihat seperti akan muntah.
“Saya tidak tahan lagi....” Jane melambaikan tangannya, “Ini digali dari saluran
pembuangan, entah sudah berapa lama dia terkubur didalam situ?”
“Dokter forensik di kehidupan nyata memang memiliki pekerjaan yang sangat menderita.”
Samara menepuk nepuk pundaknya : “Jangan lupa selain melakukan autopsi, kita juga
memberikan bukti untuk menyelesaikan kasus ini.”
“Saya tahu.”
Jane tidak tahan dengan aroma busuk dari mayat yang menempel di tubuhnya, dia
menarik Samara ke kamar mandi untuk mandi.
Dan pada saat itu, ponsel Samara berdering.
Saat melihat panggilan dari Olivia, dia merasa suasana hatinya membaik, dan
mengangkatnya sambil tersenyum.
“Hu.….
“Selamatkan kakak.....”
Samara yang mengangkat telpon langsung disambut oleh suara Olivia yang terisak–isak.
“Ada apa dengan Oliver?” Samara tercengang, dan suaranya menegang, “Katakan pelan–
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtpelan, saya disini, tidak akan terjadi apa–apa.”
Mendengar suara Samara membuat Olivia merasa lebih tenang.
“Kakek buyut...memukul kakak....kakak tidak salah....
Olivia panik dan merasa sakit hati.
Tiba–tiba dia merasa benci pada dirinya yang tidak bisa berbicara dengan benar, dan
tidak bisa menjelaskan dengan jelas.
Samara yang mendengarnya langsung mengerti maksud Olivia.
Selain mendengar tangisan Olivia, dia juga seperti mendengar suara Oliver yang sedang
dihukum.
Lingkungan di sana sangat ribut, tetapi entah bagaimana Samara bisa mendengar suara
Oliver yang dipukuli dengan rotan.
Satu pukulan demi satu pukulan....
Hanya mendengarkannya, Samara juga merasakan hal yang sama, dan tubuhnya gemetar
karena marah.
Saat ini......
Samara hanya merasa bahwa tanpa izinnya, tidak ada yang boleh menyentuh sehelai
rambut Oliver dan Olivia.
“Olivia, saya akan segera ke sana.”
Begitu selesai berbicara, Samara menutup telepon.
Jane dikejutkan oleh mata coklatnya yang dingin, dan bergumam, “Bos, ada apa
denganmu? Ekspresimu sangat menakutkan!”
“Jane, urusan pendataan akan kuserahkan pada kalian, dan laporan diagnosisnya akan
saya kirim ke emailmu nanti.” Samara mematikan keran di depannya dan berkata ringan,
“Sekarang, saya punya urusan yang lebih penting untuk diselesaikan.”
“Oh, oh...”
Samara langsung pergi setelah selesai berbicara.
Jane menatap punggung Samara, dan merasa kalau bosnya bukan pergi untuk
menyelesaikan urusan, namun lebih terlihat seperti pergi berkelahi!”
Setelah turun.
Samara melihat seorang polisi yang mengendarai sepeda motor dan baru mau mencabut
kuncinya.
Dia bergegas meraih kuncinya beserta helmnya : “Konsultan Forensik Khusus, Samara,
pinjamkan dulu sepeda motor ini kepadaku, saya akan mengembalikannya setelah selesai
menggunakannya.”
“Aaa—-” Wajah petugas polisi muda itu kebingungan.
Samara memakai helm, menyalakan sepeda motor, dan melaju kencang.
Di sepanjang perjalanan, dia terus mengelak kesana kemari, rambut panjangnya diterpa
angin dan knalpot motornya terus mengaum.
Ini pertama kalinya dia mengendarai sepeda motor di Kota Metro.
Meskipun sudah lama tidak mengendarai sepeda motor, namun tubuhnya masih kuat, dia
bisa menyingkir dari mobil yang ada disampingnya dengan cepat dan meninggalkan
mereka di belakang.
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏmDi ruang tamu kediaman Costan.
Borris tidak berani mengerahkan seluruh kekuatannya, namun meskipun begitu, setiap
pukulan yang mendarat pada Oliver sudah cukup untuk membuatnya mengertakkan
giginya dan merasakan sakit di tubuhnya.
Wajahnya yang tembem dan berwarna merah muda itu sudah berubah karena kesakitan.
Tapi....
Anak berwajah tembem itu sama sekali tidak meneriakkan kesakitannya, dan bahkan
tidak meneteskan setetes air mata pun.
Paling saat dia merasa tidak tahan, dia akan mendengus dengan ringan.
Samantha yang menonton dari samping pun tidak membujuk Borris untuk berhenti.
Dia sudah lama merasa jengkel pada Oliver, alis anak ini mirip skali dengan wanita itu!
Selain fitur wajah, bahkan tempramennya yang tidak mau menundukkan kepala juga
sama percis!
Selama beberapa tahun ini dia sudah sering dibuat marah olehnya!
Sekarang melihatnya dipukuli oleh Borris, Samantha merasa sangat lega.
Borris yang sudah memukulnya berkali–kali mulai merasa hatinya tidak tega, dia sengaja
berhenti dan bertanya.
“Oliver, saya sudah cukup memukulimu, sekarang asalkan kamu berkata saya sudah
salah, maka kakek buyut tidak akan memukulmu lagi!
“Padanya....” Wajah Oliver memucat karena kesakitan, namun dia masih menatap
Samantha dengan tatapan tidak jera : “Tidak mungkin!”
Previous Chapter
Next Chapter