- Novel-Eng
- Romance
- CEO & Rich
- Billionaire
- Marriage & Family
- Love
- Sweet Love
- Revenge
- Werewolf
- Family
- Marriage
- Drama
- Alpha
- Action
- Adult
- Adventure
- Comedy
- Drama
- Ecchi
- Fantasy
- Gender Bender
- Harem
- Historical
- Horror
- Josei
- Game
- Martial Arts
- Mature
- Mecha
- Mystery
- Psychological
- Romance
- School Life
- Sci-fi
- Seinen
- Shoujo
- Shounen Ai
- Shounen
- Slice of Life
- Smut
- Sports
- Supernatural
- Tragedy
- Wuxia
- Xianxia
- Xuanhuan
- Yaoi
- Military
- Two-dimensional
- Urban Life
- Yuri
Bab 162
Samara tercengang.
Saat dia tertegun dan terpaku, Asta sudah menarik tubuhnya ke hadapannya.
Dia baru ingin melawan, namun kancing kemejanya sudah dilepaskan olehnya satu per
satu....
Kulit putih mulusnya terpampang dihadapan pria itu, dan merangsang saraf
penglihatannya.
Mata tajamnya yang hitam menatap dirinya dengan panas, jari–jari rampingnya
melepaskan seluruh pakainnya dan membuat Samara tidak tahu harus berbuat apa.
“Asta, dasar bajingan!”
“Iya.” Asta menjawab dengan nada rendah.
Dan saat Samara mengira Asta akan bertindak padanya, tubuhnya malah dibalik dan
punggungnya menghadap pada Asta.
Asta mengelus bekas luka di punggung Samara.
Satu bekas pukulan yang sedikit lebih ringan...
Dan satu bekas pukulan yang membiru dan mengejutkan orang....
Ini mungkin pukulan Borris yang menggunakan seluruh kekuatannya seperti yang
dikatakan oleh Paman Michael tadi.
Jarinya yang kasar dan hangat mendarat di punggung Samara yang dingin, membuat
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtSamara bergidik.
Suara Asta rendah dan serak, seolah–olah dia sangat tertekan : “Bagaimanapun Oliver
adalah cicit kandung kakek, dia tidak akan memukulinya dengan sadis, untuk apa kamu
berlagak pahlawan?”
Samara membelakangi Asta, dan merapat ke dinding.
Dia tidak mengenakan atasannya, dan seolah sedang menempel pada dinding es.
Memikirkan kalau Asta memeriksa lukanya dalam postur yang memalukan, dia tidak bisa
menahan rona merah di wajahnya dan berkata dengan marah : “Kalau mau memeriksa
luka apa bisa tidak melepas pakaianku
sesuka hatimu?”
Mata tajam Asta menatap luka di punggung Samara dengan berapi–api, dan pada
akhirnya dia menahan detakan jantungnya.
“Mana ada wanita sepertimu? Kalau saya tidak melepaskan bajumu yang menghalangi,
maka lukamu akan semakin parah.”
“Tapi kamu juga tidak boleh seenaknya terhadapku!”
Asta mendekatkan bibirnya pada telinga Samara.
“Saya tidak bersikap seenaknya, saya hanya bersikap seenaknya denganmu seorang.”
Pada akhirnya Asta melepaskan Samara, tapi bajunya masih belum dikenakan.
Asta menendang kemeja itu, dan menggendong Samara ke ranjang besarnya,
menelungkupkannya, dan mengoleskan obat padanya.
Samara tidak ingin dibantai oleh Asta seperti ini, lalu bersikeras berkata : “Asta, saya bisa
mengoleskannya sendiri.”
“Mengoles apa? Punggungmu tidak punya mata.”
Asta mengambil salep yang diracik Samara, mencelupkan ujung jarinya dan mulai
mengoleskan obat itu pada lukanya.
Asta sudah tahu sejak lama kalau Samara bisa menahan rasa sakit.
Bisa dilihat kalau dia sudah memiliki pengalaman, namun setiap kali melihatnya seperti ini
dia merasa sangat sakit hati.
Dia mengoleskan obat pada luka Samara dengan sangat fokus, sedangkan Samara yang
sedang dioleskan salep merasa sangat tidak nyaman.
Tempat dimana Asta mengoleskan salep dengan ujung jarinya terasa dingin dan juga
panas, seperti di gigit oleh ribuan semut dengan ringan.
Asta juga tidak jauh lebih baik, rasa sakit hatinya sekarang berganti menjadi hasrat.
Yang semakin parah....
Nafas kedua orang itu menjadi sangat berat, dan tidak berhenti menguji ambang batas
terbawah mereka.
“Sudah selesai.”
“Terima kasih.”
Samara bersusah payah melewati situasi canggung itu, tapi dia lupa pada keadaannya
sendiri.
Dia berbalik, dan membuat tatapan Asta menjadi panas, seketika itu dia langsung
menekan tubuh Samara dibawah, seperti seekor serigala.
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm“Asta, kamu...”
“Terima kasih?” Asta merendahkan suaranya, “Bagaimana caramu berterima kasih
padaku?”
“Kamu yang mengoleskan obat itu atas kemauan sendiri, saya tidak memohon padamu.”
Samara merasa wajahnya semakin panas, “Lepaskan... anak–anak masih diluar!”
Asta sangat ingin mencium bibirnya ini dengan ganas, tetapi memikirkan bahwa ini bukan
waktu yang tepat, dia menekan nafsunya dan melepaskannya.
Samara terluka.
Dia masih agak khawatir.
Kalau tidak, dia pasti akan menciumnya dengan ganas.
Samara mengambil atasannya dan memakainya, dia mengira Asta akan
merundingkan masalah malam ini dengannya, tapi ternyata tidak.
Dia tidak bisa menahan diri dan bertanya : “Asta, benar atau salah, saya percaya di sisi
kakekmu....juga memerlukan penjelasan kan?”
“Tidak perlu menjelaskan apapun.” Asta meraih dagunya, “Dia mencari keadilan untuk
orangnya, dan saya sendiri juga akan melakukan hal yang sama untuk orangku. Kalau
dia bukan kakekku, maka saya pasti akan membuatnya membayar seratus kali lipat atas
apa yang dia lakukan padamu...
Previous Chapter