- Novel-Eng
- Romance
- CEO & Rich
- Billionaire
- Marriage & Family
- Love
- Sweet Love
- Revenge
- Werewolf
- Family
- Marriage
- Drama
- Alpha
- Action
- Adult
- Adventure
- Comedy
- Drama
- Ecchi
- Fantasy
- Gender Bender
- Harem
- Historical
- Horror
- Josei
- Game
- Martial Arts
- Mature
- Mecha
- Mystery
- Psychological
- Romance
- School Life
- Sci-fi
- Seinen
- Shoujo
- Shounen Ai
- Shounen
- Slice of Life
- Smut
- Sports
- Supernatural
- Tragedy
- Wuxia
- Xianxia
- Xuanhuan
- Yaoi
- Military
- Two-dimensional
- Urban Life
- Yuri
Bab 98 Bibimu
Suasana di kamar seketika berubah canggung dan tegang.
“Fabian?” Finno mengernyitkan alisnya. “Apa yang kau lakukan di sini?”
Fabian tidak sepiawai Finno dalam menyembunyikan perasaan. Sesaat melihat Finno, Fabian pun tersentak dan menjawab,
“Ada orang yang menyerangku di kantor. Vivin terluka karena dia berusaha melindungiku. Jadi aku membawanya ke sini.”
Hati Vivin tidak karuan.
Dia sengaja, ya? Kenapa dia menjelaskan secara rinci begitu? Tidak takutkah ia bila Finno salah paham?
Vivin melirik perlahan ke arah Finno, mencoba mengamati reaksinya. Namun sorotan mata tajam Finno tidak menjawab apapun.
Usahanya membaca reaksinya tak membuahkan hasil.
Vivin... Mencoba melindungiku...
Napas Finno semakin berat seiring kata-kata Fabian terputar di dalam kepalanya.
Fabian terlihat sedang berlagak di hadapannya. Biasanya, Finno tidak pernah meladeni sikap provokatif seperti ini. Akan tetapi
Finnopun harus mengakui bahwa kata-kata yang diucapkan Fabian ini menghujam hatinya.
Luka di tangan Vivin tampak menjadi hal yang perlu diperhatikan khusus saat ini. Lalu dia mengambil napas dalam-dalam untuk
meredam amarahnya.
Wajar saja dia melindungimu.”
Fabian tersentak mendengar ucapan Finno.
“Namun,” Finno kembali membuka mulutnya, sambal melirik sekilas pada Vivin yang gelisah. “Aku harap dia tidak akan
bertindak gegabah seperti ini lagi nanti.”
Vivin bergidik ditatap dengan sorotan matanya yang tajam. Dia tidak ambil pusing dengan makna di balik kalimat yang
diucapkannya dan langsung mengangguk saat itu juga.
Wajah Fabian semakin muram.
“Okay.” Finno broke the silence stretching between the three of them. “Fabian, thank you for sending Vivin to the hospital. I will
ask Noah to settle the bills with you.”
“Baiklah.” Finno memecah ketegangan yang ada di antara mereka bertiga. “Fabian, terima kasih sudah mengantar Vivin ke
rumah sakit. Aku akan minta Noah untuk mengurus biayanya denganmu nanti.”
Fabian menggeretakkan giginya. “Paman Finno, kau tidak perlu mengganti biayanya, kok.”
1/2
“Tidak bisa. Vivin kita ini tidak suka bila berhutang pada orang luar.”
Vivin kita... Orang luar...
Fabian merasakan monster di dalam dirinya bergemuruh demi mendengar kata-kata Finno.
Bagaimanapun juga, dia menahan diri demi Vivin. Keadaannya masih sangat lemah.
Sebenarnya, dari tadi dia terus diliputi dilema saat Fabian menyelesaikan urusan administrasi rumah sakit. Fabian adalah orang
terakhir yang ingin dia hutangi.
Dia merasa jauh lebih baik meminta Finno untuk membantunya mengurus biaya rumah sakit. Nyatanya, Vivin sudah berhutang
kepada Finno.
“Baiklah.” Fabian mengambil napas dalam-dalam. “Kalau begitu aku tidak boleh mengganggu Paman Finno dan Bibi Vivin lagi.”
Finno puas dengan kepekaan Fabian. Dia mengangguk dan mengantar Fabian ke luar kamar.
Vivin menghela napas lega setelah Fabian pergi.
Kemudian, dengan cepat Finno berbalik aralı menghadap Vivin dengan wajah dingin dan serius. Dia berkata dengan suara
pelan “Vivin Wiliardi, kau berhutang penjelasan padaku, bukan?”
Vivin merasakan bulu kuduknya berdiri..
“A... tanganku terluka...” Vivin tidak berani melihat ke arahnya sehingga membuatnya memilih alasan buruk itu. Dia melengkapi
aksinya dengan wajah memelas.
Tadinya Vivin mengira Finno bisa langsung menebak. Akan tetapi, Finno menaikkan alisnya dan. mengarahkan kursi rodanya
mendekat padanya. Dengan lembut dia menyentuh perban yang membalut lengan Vivin dan bertanya lembut, “Apa lukamu
sakit? Infeksi? Kau mau kucarikan dokter untuk memeriksa?”
Suara Finno masih tenang dan terkontrol. Terlihat dia benar-benar khawatir.
Vivin tidak menyangka dia akan seserius ini dalam memerhatikannya dan menyesali tindakan Vivin dalam penyerangan itu. Vivin
tersedak, gugup. “Sebenarnya, aku tidak apa-apa... Hanya sakit sedikit. Kurasa itu normal.”
Finno mengangkat kepalanya. Jarak di antara keduanya menjadi sangat dekat di kala Finno memeriksa lukanya. Vivin sampai
bisa melihat wajahnya yang memerah terpantul pada bola
matanya.