- Novel-Eng
- Romance
- CEO & Rich
- Billionaire
- Marriage & Family
- Love
- Sweet Love
- Revenge
- Werewolf
- Family
- Marriage
- Drama
- Alpha
- Action
- Adult
- Adventure
- Comedy
- Drama
- Ecchi
- Fantasy
- Gender Bender
- Harem
- Historical
- Horror
- Josei
- Game
- Martial Arts
- Mature
- Mecha
- Mystery
- Psychological
- Romance
- School Life
- Sci-fi
- Seinen
- Shoujo
- Shounen Ai
- Shounen
- Slice of Life
- Smut
- Sports
- Supernatural
- Tragedy
- Wuxia
- Xianxia
- Xuanhuan
- Yaoi
- Military
- Two-dimensional
- Urban Life
- Yuri
Bab 1611
“Maksudmu pertanyaan yang kutanyakan adalah omong kosong?”
Tak disangka respon Dewi sangat cepat. Tatapan matanya tajam dan dingin.
“Tidak, setiap perkataanmu berharga. Setiap kalimatnya sangat berharga.”
Keinginan hidup Daniel sekarang sangat kuat. Di antara seluruh tubuhnya, hanya leher dan kepalanya
yang bisa bergerak. Entah bisa hidup di detik selanjutnya atau tidak, harus bergantung dengan suasana
hati Dewi.
la mana mungkin berani membuatnya marah?
“Cih, tahu diri juga!”
Dewi memutar mata ke atas dan mulai mengeluarkan daging burung pengar dari panci untuk dimakan.
Ia juga membuat saus sambal yang cocok untuk dicocol dengan daging. Rasanya sangat enak.
“Bukankah kita sedang mendiskusikan penyakitku? Kenapa tiba–tiba kamu makan?”
Daniel memandangnya sambil mengernyitkan kening. Perubahan pikiran wanita ini sangat cepat.
Barusan sedang dalam kesedihan mendalam, sekarang sudah mulai makan daging.
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇt“Jika perut kenyang, baru punya tenaga mengobatimu.”
Sambil makan, Dewi sambil menghancurkan apel dengan tangan kosong. Jus apel itu diteteskan ke
dalam gelas. Setelah penuh, ia mulai menikmatinya, makan daging sambil minum jus.
la melemparkan beberapa tulang dan daging ke serigala cacat di sampingnya. Mengenai elang botak di
atas atap dan ular, tak perlu pedulikan mereka. Mereka bisa mencari makan sendiri.
Daniel melihat nafsu makannya kuat sekali, mau tak mau ia merasa lapar, “Punyaku mana?” tanyanya.
“Sekarang kamu tak boleh bergerak, hanya boleh minum cairan.”
Dewi menyodorkan gelas jus kepadanya.
“Ini adalah makananku?” Daniel melihat jus apel yang tersisa, ia mengernyitkan kening, “Aku merasa
aku sudah sangat lemah, sudah waktunya mengisi perutku sedikit.”
“Setelah makan harus buang air besar, siapa yang akan membersihkannya?” Dewi bicara dengan kesal,
“Sebelum kamu bisa menjaga dirimu, maka kamu hanya bisa minum ini.”
‘…..” Daniel tertegun, “Pasti akan lapar, ‘kan?”
“Yang penting tidak mati kelaparan saja.” Dewi lanjut menggerogoti dagingnya.
“Pelayananmu ini buruk sekali, sepertinya tagihan medis harus di diskon.” Daniel merasa dirugikan.
“Diskon?”
Ketika membicarakan uang, kedua mata Dewi langsung bersinar. Ia mengambil pisau daging besar di
sampingnya, lalu melempar ke depan. Pisau itu terbang dan menancap di papan kayu sebelah leher
Daniel. Pisau itu hanya berjarak 1 cm dari lehernya.
Daniel membelalakkan mata dan tak berani bicara.
Dewi mengeluarkan sebuah buku catatan minyak dari kantong celananya dan berjalan ke hadapan
Daniel. Membuka dan menunjukkannya di depan matanya, menggunakan jarinya menunjuk tulisan di
dalam buku sambil berkata.
“Lihat baik–baik, ini semua tagihan medismu. Di atasnya sudah ada cap jarimu. Jika kamu tidak setuju,
sekarang juga aku akan membelahmu!!”
Daniel memincingkan mata dengan teliti dan membelalakkan mata, “Apa? Delapan ratus juta? Dollar??
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏmKamu tidak salah?”
“Apanya yang salah? Ini hanya tagihan di awal, tagihan untuk beberapa hari ini masih belum kuhitung.”
Setelah bicara, Dewi mengeluarkan sebuah pensil dan mulai menulis di sana. Sambil menulis sambil
berkata. “Pada akhirnya harus ditambahkan dengan biaya kerusakan mental, biaya perlindungan, biaya
resiko nyawa dan kali ini biaya bantuan. Total tagihan sekitar setengah dari aset keluargamu!”
“Puff!” Daniel hampir memuntahkan darahnya, “Tak pernah dengar tagihan medis setara dengan
setengah dari aset keluarga. Kamu kejam sekali!”
“Kenapa, kamu tak ingin membayarnya?” Ujung bibir Dewi menyeringai licik, “Jika tidak ingin, ya sudah.
Kebetulan sekali serigala tuaku masih belum kenyang.”
Ketika mendengar ucapan ini, kedua mata serigala tua cacat itu bersinar, ia berjalan mendekat dengan
santai…
“Bayar, bayar.”
Daniel lekas mematuhinya. Sekarang tak ada yang penting, selain nyawanya.
“Ini baru benar.” Dewi tersenyum bangga, “Sudahlah, aku keluar cari laptop dan ponsel. Kamu habiskan
jus ini, jika mati kelaparan, aku harus menagih biaya pada siapa?”